Rabu, 21 Mei 2014

© Manufacture of Glycerol from Epichlorohydrin (Chloro Aceton)

Glycerol , C3H8O3 , Mr 92.09, 1,2,3-propanetriol, dikenal juga sebagai glycerin, adalah triol yang paling sederhana. Gliserol dapat ditemukan  dalam seluruh minyak dan lemak alami sebagai fatty esters dan merupakan intermediate yang penting dalam metabolism organisme hidup.
Glycerol ditemukan pada 1779 oleh scheele melalui penyabunan minyak zaitun dengan timbale oksida. Pada 1813, chevreul menunjukkan bahwa lemak merupakan ester gliserol dengan fatty acid. Dia juga memberikan nama glycerol yang dalam bahasa Yunani glukeroV  yang berarti manis.
Industri pertama glycerol terjadi pada 1866 saat Nobel menghasilkan dynamite, dimana trinitrate glycerol–nitroglycerin– yang distabilkan oleh penyerapan diatomaceous earth. Industri sintesis glycerol yang paling penting, saat penggunaan propene sebagai bahan awal., yang dikembangkan pada 1930 oleh I.G. Farben di Jerman dan oleh Shell di Amerika Serikat.
Gliserol sintetis pertama diproduksi pada tahun 1943. Metode ini menjadi mudah setelah klorinasi propena menjadi allil klorida pada suhu tinggi dapat dikontrol dengan baik. Allil klorida yang dihasilkan dioksidasi dengan hipoklorit ke dichlorohydrin, yang diubah menjadi epichlorohydrin dengan penutupan cincin oleh kalsium atau natrium hidroksida.  Hidrolisis epichlorohydrin ke gliserol dilakukan dengan natrium hidroksida atau natrium karbonat.
Glycerol sekarang digunakan dalam variasi aplikasi yang sangat luas disebabkan kombinasi tertentu dari sifat kimia dan fisik dan karena secara fisiologis tidak berbahaya. Total produksi diperkirakan (1998) mencapai 750 000 t/a; kira-kira 90% dihasilkan oleh pengolahan minyak alami atau lemak dan 10%  disintesis dari propena.
Perkembangan industri di Indonesia terutama industri kimia mengalami kemajuan dan peningkatan baik kuantitas maupun kualitasnya dari tahun ke tahun, sehingga kebutuhan akan bahan baku maupun bahan pembantu juga mengalami peningkatan. Hal ini dibuktikan dengan diresmikannya beberapa pabrik kimia di Indonesia. Kegiatan pengembangan industri kimia di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan nasional dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri akan bahan kimia dan juga sekaligus ikut memecahkan masalah ketenagakerjaan.
Salah satu jenis industri kimia yang amat besar pengaruhnya terhadap perkembangan industri yang lain di Indonesia adalah Gliserol. Industri ini berperan dalam industri pembuatan alkyd resin yang berpengaruh terhadap karakter kelembaban, kelenturan dan kelunakannya. Disamping itu juga dalam industri obat-obatan dan kosmetik, tembakau, makanan, polyethers. Juga sebagai bahan baku utma pembuatan bahan peledak trinitro gliserol (TNG).

REAKSI KIMIA


Epichlorohydrin dihydrolisis ke glycerol pada suhu 80- 200°C dengan 10-15%  larutan sodium hydroxide atau sodium carbonate pada tekanan atmospheris atau lebih tinggi. Waktu tinggal dalam satu atau beberapa reactor yang bekerja secara kontinyus adalah beberapa menit atau beberapa jam tergantung pada pabrik bersangkutan. Yield untuk larutan encer gliserol (10-25%) > 98%.
Proses reaksi hidrolisis antara epichlorohydrin dengan sodium hidroksida dijalankan pada suhu 95°C tanpa katalisator. Reaksi bersifat eksotermis, sehingga untuk menjaga suhu reaksi tetap sebesar 95°C diperlukan air pendingin untuk mengambil panas reaksi yang timbul. Menurut US Patent No.2838574 dan Faih-Keyes, 1975;  konversi bisa sempurna atau mendekati 100%. Untuk konversi yang besar maka dapat digunakan RATB secara seri mencapai 4 buah reaktor.
Reaksi yang terjadi dapat dituliskan dengan persamaan reaksi sebagai berikut  :






Pada saat proses pemurnian hasil untuk memisahkan gliserol dari larutan NaCl, maka penambahan senyawa isopropil alkohol diperlukan yang bertindak sebagai solven bagi gliserol, Dengan penambahan isopropil alkohol maka gliserol akan larut ke dalamnya sehingga larutan garam dapat dipisahkan dari gliserol tanpa banyak gliserol yang terikut larutan garam.
Jika hasil slurry yang keluar evaporator langsung dipisahkan di centrifuge, maka masih banyak kandungan NaCl dalam fase larutan yang akhirnya pemisahan lebih lanjut terhadap gliserol perlu dilakukan lagi. Dengan penambahan isopropil alkohol maka diharapkan kelarutan NaCl yang masih besar akan jadi berkurang, sehingga semuanya dapat dipisahkan dari campurannya dengan gliserol.

Selasa, 20 Mei 2014

© Manufacture of Epichlorohydrin from Dichlorohydrin

Salah satu bahan baku antara (intermediet) yang banyak digunakan adalah epiklorohidrin. Epiklorohidrin digunakan untuk pembuatan gliserol, resin, dan lainnya. Epiklorohidrin dengan rumus kimia C3H5ClO (1-chloro-2,3-epoxy-propane) adalah cairan tak berwarna yang bersifat mudah terbakar, beracun, larut dalam bahan pelarut organik dan sedikit larut dalam air  (6.6 wt % pada 20 °C)
Epiklorohidrin banyak digunakan sebagai :
  1. Bahan dasar pembuatan karet
  2. Pembuatan sintesis dari gliserol monoklorohidrin (obat)
  3. Bahan baku intermediate dari produk gliserol antara lain untuk pembuatan kosmetik, sabun, dan pasta gigi.
  4. Sebagai ion-exchanger resins untuk water treatment
  5. Sebagai surface active agent pada deterjen
Aplikasi kegunaan lainnya meliputi zat tahan karat dan perekat lapisan, pembasmi 

REAKSI KIMIA


Pembuatan epiklorohidrin dapat dilakukan dengan mereaksikan diklorohidrin dengan natrium hidroksida, dengan reaksi sebagai berikut:
            ( Diclorohidrin: C3H6Cl2O )           ( Epiclorohidrin: C3H5ClO )

         ( Diclorohidrin: C3H6Cl2O )              ( Gliserol: C3H8O3 )

Suhu reaksi sekitar 70-100°C dengan tekanan atmosferis. Reaksi antara diklorohidrin dan natrium hidroksida akan membentuk epiklorohidrin, natrium klorida dan air. Juga ada reaksi samping berupa pembentukan gliserol. Konversi bisa mencapai 95% didasarkan atas diklorohidrin.
Diklorohidrin dalam air mempunyai kelarutan 15.6 wt % pada 20°C sedangkan epiklorohidrin mempunyai kelarutan 6.6 wt % pada 20°C. Dengan titik didih epichlorohidrin sebesar 117°C dan sebagiannya larut dalam air maka akan relative sulit memisahkan air dari produk epichlorohidrin tanpa ada tambahan zat bantu yang dapat memisahkan atau mengecilkan kelarutan epichlorohidrin dalam air. Untuk itu ditambahkan senyawa C3H5Cl3 Trichloro propane sebagai solven yang akan mengambil epichlorohidrin dan dichlorohidrin dari dalam fase air sehingga mudah dipisahkan di Decanter dan kehilangan epichlorohidrin karena ikut terbuang bersama air dapat dikecilkan.
Kelarutan ini sendiri berlaku jika di dalam sistem cuma ada air dan senyawa clorohidrin. Tetapi jika di dalam sistem ada solven yang lain dalam hal ini adalah C3H5Cl3 trichloro propane maka kelarutannya akan berubah dimana clorohidrin lebih mudah larut dalam C3H5Cl3 dibandingkan di dalam air. Trichloro propane C3H5Cl3  diumpankan ke dalam reactor bersama reaktan, sehingga epichlorohidrin yang terbentuk akan masuk ke fase organiknya C3H5Cl3 dan mudah dipisahkan dari air di alat berikutnya.

Senin, 05 Mei 2014

© Manufacture of Ethylene Dibromide from Ethylene and Bromine


Ethylene dibromide, 1,2-dibromoethane, BrCH2CH2Br, dibuat dengan menambahan bromine ke ethylene tanpa katalisator. Pasar terbesar untuk ethylene dibromide adalah dalam bensin. Ini bertindak sebagai pengambil alkyls timbal dan mencegah penumpukan timah oksida dalam mesin mobil. Penggunaan ini, berjumlah sekitar 35-40% dari konsumsi bromin Amerika Serikat pada tahun 1981, telah menurun sejak tahun 1974 untuk mengurangi jumlah timbal di atmosfer. Produksi kontinyu mobil dengan non-timbal dan kebijakan konservasi akan lebih dari mungkin mengakibatkan penurunan lebih lanjut.
Aplikasi besar yang lainnya untuk ethylene dibromide adalah untuk fumigasi tanah dan ruang, dan fumigasi pasca panen buah. Itu digunakan sebagai pengganti DBCP (1,2-dibromo-3-chloropropane), BrCH2CHBrCH2Cl, yang dilarang oleh EPA (Environmental Protection Agency) pada akhir tahun 1970 karena paparan tempat kerja menyebabkan azoospermia; Itu diterapkan untuk mengendalikan hama, seperti nematoda tanah, tikus, dan sebagian besar spesies serangga. Pada akhir tahun 1983 EPA mengambil tindakan darurat untuk membatalkan pendaftaran pestisida untuk formulasi ethylene dibromide yang digunakan di sebagian besar aplikasi fumigasi tanah di Amerika Serikat karena pencemaran air tanah. Beberapa menggunakan fumigasi kecil diizinkan untuk melanjutkan, tetapi volume dominan etilen dibromide digunakan dalam fumigasi tanah akan berhenti.
Jumlah yang lebih kecil dari etilena dibromide digunakan sebagai reaksi antara dalam pembuatan bahan kimia lainnya, seperti monomer reaktif tahan api, vinyl bromide.. Sejumlah kecil digunakan sebagai pelarut high density yang tidak mudah terbakar dalam berbagai aplikasi.

REAKSI KIMIA

Reaksi brominasi ethylene selain membentuk senyawa ethylene dbromide juga membentuk produk samping tribromo ethane (TBE) dan juga asam bromida. Reaksi dijalankan di dalam Reaktor Gelembung, dimana umpan ethylene dalam fase gas dan bromine umpan dalam fase cair. Di dalam reactor sendiri sudah ada larutan ethylene dibromide (EDB) yang terbentuk oleh reaksi sehingga reaksi selanjutnya berjalan baik.

Reaksi fase gas:
C2H4    +       Brl2   ===>  C2H4Br2
C2H4    +    2 Br2   ===>  C2H3Br3   +    HBr
Konversi total ethylene bisa mencapai 99.5% dimana sebagian membentuk produk samping tribromoetane. Kondisi operasi di reactor dipertahankan 85°C dan tekanan 4 atm. Reaksi bersifat eksotermis sehingga diperlukan pendinginan dengan air untuk menjaga suhu reaksi tetap 85°C. Umpan bromine dibuat berlebih dibandingkan ethylene, dan sisa bromine tidak bereaksi bisa direcycle.

Minggu, 04 Mei 2014

© Manufacture of Ethylene Dichloride from Ethylene and Chlorine


Sinthesis pertama ethylene dichloride, EDC  (1,2-dichloroethane) terjadi pada 1795. Saat ini ethylene dichloride adalah bahan kimia dengan kecepatan produksi paling tinggi. Kecepatan pertumbuhan rata-rata  > 10 % yang dicapai selama 20 tahun terakhir.
Meskipun tingkat pertumbuhan menurun selama beberapa tahun terakhir, dalam jangka panjang ethylene dichloride akan mempertahankan posisi terdepan di antara bahan kimia organik terklorinasi karena penggunaannya sebagai bahan awal untuk produksi polivinilklorida. Ethylene dichloride adalah cairan bening pada suhu kamar, yang mudah larut dalam semua hidrokarbon terklorinasi dan dalam pelarut organik yang paling umum.
Ethylene dichloride yang diproduksi industri oleh klorinasi etilena. Klorinasi ini baik dapat dilakukan dengan menggunakan klorin ( klorinasi langsung ) atau hidrogen klorida ( oxychlorination ) sebagai agen pengklorinasi.
Dalam prakteknya , kedua proses tersebut dilakukan bersama-sama dan secara paralel karena sebagian pabrik besar EDC yang terhubung ke unit vinil klorida ( VCM ) dan proses oxychlorination digunakan untuk menyeimbangkan hidrogen klorida yang diperoleh dari produksi VCM. Tergantung pada rasio produksi EDC / VCM dari pabrik terpadu. Tambahan kelebihan hidrogen klorida dari proses lain seperti chlorinolysis (produksi perkloroetilena dan tetrachloromethane),  atau 1,1,1-trichloroethane (1,1,1-Trichloroethane dari 1,1-Dichloroethane) dapat dimasukkan ke tahap oxychlorination untuk balancing yang tepat dalam recovery klorin. 

 ( Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry, 6 Edition,2002 )

REAKSI KIMIA

Reaksi klorinasi ethylene selain membentuk senyawa ethylene dichloride juga membentuk produk samping trichloro ethane (TCE) dan juga asam chlorida. Reaksi akan berlangsung baik dengan adanya senyawa Ethylene Dibromide (EDB) C2H4Br2 yang bertindak sebagai katalisator dalam system reaksi.

Reaksi fase gas:
C2H4    +       Cl2   ===>  C2H4Cl2
C2H4    +    2 Cl2   ===>  C2H3Cl3   +    HCl

Konversi total chlorine hampir sempurna dimana sekitar 5% membentuk produk samping trichloroetane. Suhu reaksi bisa naik ekstrim sehingga diperlukan pendinginan yang efektif sehingga suhu tidak tiba-tiba naik tinggi terutama pada konversi awal. Hal ini terjadi karena umpan ethylene dan chlorine equamolar, jika umpan ethylene dibuat excess maka suhu reaksi bisa lebih dikontroll. Kondisi tekanan operasi adalah atmosferis dengan suhu sekitar 50-175°C.

© Manufacture of Propylene Dichloride from Propilen and Chlorine

Propylene dichloride, 1,2-dichloropropane, CH2Cl-CHCl-CH3 , Mr 112.99, adalah senyawa organic yang masuk kategori  chlorocarbon. Zat cair tidak berwarna, mudah  terbakar dan berbau manis. Umumnya diperoleh sebagai hasil samping pembuatan  epichlorohydrin, yang skala besar.
1,2-Dichloropropane adalah intermediate dalam produksi perchloroethylene dan senyawa kimia terchlorinasi lainnya. Zat ini pernah digunakan sebagai fumigan tanah, kimia intermediate, serta pelarut industri kimia dan ditemukan pada cat, pernis, dan finishing mebel tetapi beberapa kegunaan ini telah dihentikan.

Propylene dichloride bercampur (larut) dengan sebagian besar pelarut organic, seperti alcohol, ester dan keton serta dengan aromatic, alifatik dan diklorinasi hidrokarbon. Sifat kimia propylene dichloride adalah stabil pada suhu kamar tetapi mengalami dehydrochlorinasi oleh panas atau catalytic cracking menjadi allyl chloride dan 1-chloro-1-propena. Oleh NaOH dapat dehydrochlorinasi membentuk terutama 1-chloro-1-propena ( isomer 45% cis dan 55%  trans ).
Produksi propylene dichloride adalah produk sampingan dalam sintesis oleh proses chlorohidrin yang penting oleh bahan kimia intermediate propilene oksida (1,2-epoxypropane ). Propylene dichloride diperoleh dalam jumlah kecil sebagai produk sampingan dalam sintesis industri alil klorida . Sintesis langsung misalnya dengan penambahan klorin untuk propena saat ini tidak dilakukan.
Spesifikasi kualitas dan analisis kimia.
Propylene dichloride digunakan baik dalam produk kotor ataupun produk grade komersial. Produk kotor digunakan terutama sebagai perantara bahan kimia untuk produksi perchlorohydrocarbons. Produk grade komersial memiliki berbagai suhu didih 95-99°C pada 101,3 kPa ( 1013 mbar ) dan kadar air di bawah 0,1 % berat. Analisis kualitas dilakukan dengan kromatografi gas .
Penyimpanan dan Transportasi
Tindakan pencegahan yang biasa untuk cairan mudah terbakar harus diperhatikan dengan propylene dichloride. Senyawa ini dapat disimpan selama beberapa bulan , tetapi harus dilindungi dari panas, cahaya , kelembaban dan udara . Oleh karena itu, dianjurkan bahwa produk akan diselimuti dengan nitrogen.  Baja karbon adalah bahan yang cocok untuk wadah penyimpanan asalkan konsentrasi asam dan air dalam produk rendah . Karatan dapat meningkatkan jumlah warna; namun ini adalah masalah yang dapat dihindari dengan menggunakan stainless steel . Logam ringan seperti aluminium, magnesium, dan alloy mereka, dapat bereaksi dengan propylene dichloride. Bahan yang digunakan untuk gasket Teflon, Hostaflon, atau IT – 400-C dapat digunakan tetapi bahan-bahan seperti PVC, perbunane, polyethylene, polypropylene, dan karet tidak cocok.
Penggunaan
Penggunaan yang paling penting dari propylene dichloride adalah sebagai perantara dalam sintesis perkloroetilena dan tetrachloromethane. Propylene dichloride adalah pelarut yang baik untuk lemak, minyak, resin, dan lak. Sangat cocok untuk ekstraksi, pembersihan, degreasing, dan operasi dewaxing dalam industri kimia dan teknik. Karena membentuk azeotrop dengan air pada 78°C, dapat digunakan untuk menghilangkan air dari larutan organik.
Propylene dichloride melarutkan bitumen dan tar aspal. Hal ini digunakan untuk mendorong adhesi lapisan aspal, dan sangat cocok untuk produksi kertas atap, bahan isolasi, dan semir sepatu. Dalam kombinasi dengan 1,3-dichloropropene dapat digunakan sebagai fumigan tanah untuk nematoda.
Propylene dichloride berlaku sebagai pemulung utama untuk cairan antiknock, dan digunakan dalam kilang minyak bumi dalam proses Platforming untuk menyesuaikan aktivitas katalis.
( Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry, 6 Edition,2002 )

REAKSI KIMIA


Reaksi klorinasi propylene selain membentuk senyawa propylene dichloride juga membentuk produk samping trichloro propan (TCP) dan juga asam chlorida.

Reaksi Fase Gas Non-Katalitik:
C3H6    +       Cl2   ===>  C3H6Cl2
C3H6    +    2 Cl2   ===>  C3H5Cl3   +    HCl
Konversi total chlorine hampir sempurna dimana sekitar 5% membentuk produk samping trichloropropan. Suhu reaksi bisa naik ekstrim sehingga diperlukan pendinginan yang efektif sehingga suhu tidak tiba-tiba naik tinggi terutama pada konversi awal. Hal ini terjadi karena umpan propylene dan chlorine equamolar, jika umpan propylene dibuat excess maka suhu reaksi bisa lebih dikontroll. Kondisi tekanan operasi adalah atmosferis dengan suhu sekitar 50-175°C.

Jumat, 02 Mei 2014

© Manufacture of Vinyl Chloride from Ethylene Dichloride

Vinyl chloride adalah senyawa organochloride dengan rumus H2C=CHCl yang juga disebut vinyl chloride monomer, VCM or chloroethene. Senyawa ini tak berwarna dan merupakan senyawakimia penting dalam industry terutama digunakan untuk menghasilkan polymer poly vinyl chloride (PVC). Kira-kira 13 juta ton diproduksi setiap tahun. VCM masuk dua puluh bahan petrokimia terbesar produksi dunia. China adalah pembuat terbesar dan juga pemakai terbesar dari VCM.
Vinyl chloride adalah gas dengan bau manis, sangat beracun, mudah terbakar, dan karsinogenik. Vinil klorida yang dilepaskan oleh industri atau dibentuk oleh kerusakan bahan kimia yang terklorinasi bisa masuk ke udara dan pasokan air minum. Vinyl chloride adalah kontaminan yang umum ditemukan di dekat tempat pembuangan sampah. Pada massa lalu VCM digunakan sebagai refrigeran.

Pentingnya vinil klorida hasil dari meluasnya penggunaan poli (vinil klorida), salah satu polimer yang paling penting. Sintesis pertama dari vinil klorida pada tahun 1830-1834 ketika V.REGNAULT memperolehnya dengan dehydrochlorinating 1,2-dikhloroetana dengan kalium beralkohol. Pada tahun 1902, diperoleh oleh BILTZ dengan thermal cracking dari senyawa yang sama. Namun, pada saat itu, ilmu dan teknologi polimer belum canggih, sehingga penemuan ini tidak mengakibatkan konsekuensi industri atau komersial. Kerja dasar dari F.KLATTE atas polimerisasi senyawa vinylic memunculkan produksi industri vinil klorida pada 1930-an.
Vinyl chloride yang diperoleh oleh KLATTE pada 1912 melalui hydrochlorination katalitik acetylene. Rute ini hampir secara eksklusif digunakan selama hampir 30 tahun. Karena tingginya kebutuhan energi untuk produksi asetilena, penggantian dengan pengganti yang lebih murah adalah tantangan untuk waktu yang lama.
Pada 1940-1950, acetylene dapat digantikan sebagian oleh ethylene, dimana vinil klorida diproduksi oleh klorinasi langsung ke 1,2-dikhloroetana dan berikutnya thermal cracking. Unit produksi pertama yang besar untuk rute ini dilakukan oleh Dow Chemical Co., Monsanto Chemical Co. dan Shell Oil Co. Pergantian lengkap untuk penggunaan eksklusif etilena sebagai bahan baku menjadi mungkin ketika oxychlorination skala besar etilena dengan 1,2-dikhloroetana telah terbukti secara teknis layak (Dow Chemical, 1955 – 1958).
Dengan menggunakan plasticizer dan karena efisiensi energi yang tinggi, PVC telah menjadi salah satu industry polimer yang paling penting. Meskipun merupakan salah satu polimer tertua, kesiapan persediaan, produksi relatif murah oleh pabrik besar, dan pembangunan berkelanjutan dari formulasi baru dengan penggunaan yang luas menjadi daya tarik di masa depan. Beberapa pabrik VCM dibangun sebelum tahun 1986. Karena situasi bahan baku dan pasar, pabrik baru akan terletak terutama di negara-negara penghasil minyak atau di negara-negara berkembang.


( Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry, 6 Edition,2002 )

REAKSI KIMIA

Reaksi perengkahan cracking 1,2-dichloroethane dapat dikerjakan dalam fase cair maupun gas. Dalam fase cair dehydrochlorination atas 1,2-dichloroethane tidak penting secara industry karena chlorine yang mahal akan hilang sebagai garam ketika 1,2-dichloroethane ditreatmen dengan larutan alkali.

CH2Cl-CH2Cl + NaOH  ===>  CH2=CHCl + NaCl + H2O

Selain itu, aliran air proses untuk dibuang menimbulkan masalah lingkungan yang parah atau membutuhkan pretreatment yang luas. Meskipun reaksi dehidroklorinasi yang baik dapat dicapai dengan perkembangan terakhir menggunakan katalis phasetransfer, proses ini tidak cocok atau tidak ekonomis untuk produksi skala besar. 
Dehidroklorinasi fase gas adalah rute paling penting industri untuk produksi vinil klorida. Hal ini dapat dilakukan sebagai reaksi pirolitik murni atau dengan adanya katalis. Proses noncatalyzed digunakan oleh sebagian besar produsen vinil klorida (misalnya, Dow Chemical, Ethyl, BF Goodrich, Hoechst, ICI, Mitsui Toatsu, Monsanto, Stauffer), sedangkan hanya beberapa produsen (misalnya, Wacker) menggunakan catalytic cracking. Peningkatan desain furnace untuk reaksi non-katalitik telah membuat konversi dan hasil yang sebanding dengan yang diperoleh oleh catalytic cracking. Karena melepaskan katalis memakan waktu, periode shutdown yang jauh lebih lama untuk furnace katalitik dan katalis sendiri merupakan faktor tambahan biaya, sehingga perengkahan termal murni mungkin saat ini adalah proses yang lebih ekonomis. Noncatalytic

Reaksi Fase Gas Non-Katalitik:

 CH2Cl-CH2Cl   ===>  CH2=CHCl + HCl

Proses cracking termal 1,2-dichloroethane dengan menggunakan panas dijalankan pada kondisi tekanan 5 atm dan suhu 450-550°C. Reaksi berlangsung secara endotermis dengan konversi 1,2-dichloroethane sekitar 60%. Meskipun konversi rendah namun karena sisa 1,2-dichloroethane sebagian besar dapat direcycle makan akan diperoleh yield 96%. Panas yang dibutuhkan untuk terjadinya cracking diberikan oleh pemanasan bahan bakar di dalam furnace.